Nasionalisasi Aset: Rebut Blok Mahakam
Blok Mahakam adalah Blok pertambangan minyak yg berada di Kalimantan
Timur, kini sedang hangat2nya di nasional. Blok Mahakam adalah Blok
Migas terbesar di Indonesia yg memasok 35% produksi gas nasional, namun
sekarang sedang dikuasai asing. Kontrak Blok Mahakam antara Pemerintah RI
dengan Total (Prancis) dan Inpex (Jepang) akan berakir pada Maret 2017 setelah
dikuasai selama lebih dari 45 tahun sejak 1 April 1967. Semula, Blok
Mahakam memiliki cadangan sekitar 27 triliun cubic feet (TCF) gas
dan 600 juta barel minyak, dan pada saat kontrak berakhir diperkirakan masih
tersisa sekitar 6-8 TCF gas dan 100 juta barel minyak. Pada asumsi harga gas
US$ 12/MMBtu dan minyak US$ 100/barel, cadangan ini berpotensi menghasilkan
pendapatan kotor sekitar US$ (8 TCF x 1012 x 1000 Btu x $12/106 Btu + 100
juta x 100/barel) = US$ 106 miliar atau sekitar Rp 1100 triliun!
Sesuai UU No.22/2001 tentang Migas, kontraktor boleh mengajukan perpanjangan
kontrak kepada Pemerintah. Mengingat potensi cadangan yang besar, kedua
kontraktor Blok Mahakam telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak 2007, dan
terus diulang hingga saat ini. Namun dalam peraturan yang sama, Pertamina pun
berhak mengajukan permintaan kepada Pemerintah untuk mengelola Mahakam.
Permintaan ini pun telah dinyatakan berulang-ulang sejak Juni 2008 hingga 2013
ini. Tidak ada aturan yang dilanggar jika Pemerintah tidak memperpanjang
kontrak Total & Inpex, begitu pula jika mengabulkan Pertamina. Namun,
sampai saat ini status kontrak Mahakam pasca 2017 belum diputuskan.
Idealnya status perpanjangan kontrak ditetapkan antara 5-10 tahun sebelum
berakhir guna memberikan kepastian investasi dan pasokan bagi pembeli gas.
Selain itu, mengingat semakin mendesaknya penguasaan sumber-sumber energi dan
dominannya peran perusahaan minyak nasional (national ol company, NOC) secara
global, maka Pemerintah perlu segera menyerahkan pengelolaan Mahakam kepada
BUMN/NOC kita. Apalagi, Pertamina telah menulis surat permintaan kepada Menteri
ESDM, sejak dijabat Punomo Yusgiantoro dan Darwin Zahedi Saleh, serta
pernyataan kepada DPR RI dan media/publik dalam 2 tahun terakhir, bahwa Pertamina
mau dan mampu mengelola Blok Mahakam sejak 2017.
Ternyata keinginan Pertamina belum juga dipenuhi oleh Pemerintah. Sejak Menteri
ESDM dijabat oleh Jero Wacik dan Wamen ESDM oleh Profesor Rudi Rubiandini,
sikap Pemerintah yang sebelumnya mendukung Pertamina, seperti dinyatakan oleh
Darwin Zahedi (2011) dan Widjajono Partowidagdo (2011), justru cenderung
memihak kepada Total & Inpex. Bahkan dalam rangka “menolak” Pertamina, Pak
Mentri dan Wamennya (2012-2013) tega merendahkan kemampuan perusahaan anak bangsa
sendiri dengan antara lain menyatakan ketidakmampuan Pertamina secara SDM,
teknologi, manajemen dan keuangan jika mengelola Mahakam.
Dalam rangka mendukung dominasi BUMN di Blok Mahakam, terutama guna menghadapi
kuatnya keinginan Pak Jero Wacik, Rudi Rubiandini dan SKK Migas membela
perusahaan asing, sejak 2010 IRESS telah melakukan berbagai upaya advokasi.
Bersama Serikat Pekerja Migas dan mahasiswa, IRESS terlibat pada berbagai
seminar yang diselenggarakan, baik di Jakarta, maupun berbagai kampus di Jawa,
Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. IRESS juga terlibat melakukan advokasi ke
DPR RI, Kementerian ESDM, Kantor Presiden RI dan KPK. IRESS telah menggalang
gerakan Petisi Blok Mahakam pada Oktober 2012 dengan 7 butir tuntutan kepada
Presiden RI. Bersama sejumlah tokoh, serikat Pekerja, Organisasi Mahasiswa dan
LSM, IRESS mengunjungi Kantor KPK pada Februari 2013 guna meminta KPK mencegah
terjadinya korupsi dan mengawasi dengan seksama proses perpanjangan kontrak
Mahakam dengan pihak asing. Dalam acara Diskusi Publik: "Optimalisasi
Penggunaan Gas dan Batubara Sebagai Pembangkit Tenaga Listrik Nasional" di
Sekolah Tinggi Teknik - PLN , Marwan Batubara selaku Direktur IRESS
menyampaikan secara langsung apa yang sekarang sedang terjadi dengan kondisi
energi negara kita. Betapa kita krisis energi namun sumber-sumber energi kita
justru dikelola asing. Ini merupakan bentuk penghianatan terhadap negara kita.
Acara ini juga dihadiri oleh Sutan Batugana selaku Ketua Komisi VII DPR RI
serta SKK MIGAS.
Disamping berbagai langkah advokasi di atas, puluhan siaran pers dan pernyataan
sikap telah pula dikeluarkan IRESS. Dengan semua langkah advokasi tersebut,
kita yakin bahwa Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono, mengetahui dan faham
tentang permasalahan Blok Mahakam ini dan apa yang menjadi tuntutan kita. Namun
tampaknya Pemerintah bergeming dan Presiden pun tetap diam tanpa berminat
menyatakan sikap, opsi mana yang akan dipilih. Bahkan, pada saat terjadi
perbedaan sikap yang tajam antara 2 menteri kabinetnya, yakni Pak Dahlan Iskan
yang mendukung Pertamina dan Jero Wacik yang membela Total, ternyata Presiden
RI tetap diam, sehingga hal ini mengundang kecurigaan, jangan-jangan Presiden
RI memang lebih memilih asing. Hal in pernah terjadi saat kisruh Blok Cepu,
dimana pada Maret 2006, beliau lebih memilih Exxon dibanding perusahaan anak
bangsa, Pertamina.
Selama ini kita mencatat ada 2 orang pejabat yang berdiri di garis depan
membela Total & Inpex guna memperoleh perpanjangan kontrak Mahakam, yakni
Rudi dan Jero. Satu diantara keduanya telah tertangkap tangan menerima suap
sekitar Rp 7 miliar, dan telah resmi mengenakan jaket tahanan KPK sejak 13
Agustus 2013. Rudi sudah terjerembab dan harus menerima akibat dari
perbuatannya sendiri dan orang-orang terlibat lainnya. Secara resmi pendukung
Total telah berkurang. Namun karena posisi Rudi lebih rendah, atau minimal
berada di bawah Ketua Komisi Pengawas SKK Migas, Jero Wacik, maka bisa saja
sikap Pemerintah tetap sama, yakni memihak kepentingan asing.
Sebelum mengukuhkan dukungan kepada asing, kita menuntut Pemerintah melakukan
evaluasi dan pertimbangan dengan seksama. Ternyata pejabat yang telah
merekomendasikan perpanjangan kontrak, Prof Rudi, adalah orang yang tidak
kredibel dan saat ini berstatus tersangka korupsi. Kita pun meragukan
kredibilitas Menteri ESDM yang terus saja memberi jawaban yang berubah setelah
ditemukannya uang US$ 200.000 di ruang kantor Sekjen ESDM oleh penyidik KPK
pada 14 Agustus 2013. Apalagi Jero merupakan atasan Rudi. Apakah Rudi berani
bermain sendiri tanpa restu Jero? Atau malah bisa saja apa yang dilakukan dan
dikorupsi Rudi adalah dalam rangka menjalankan perintah atasan.
Semula Jero menyatakan uang US$ 200.000 tersebut adalah dana operasional
KESDM (15/8/2013). Pada saat status dana ini ditanyakan kepada Jero, terlihat
Jero berada dalam keadaan gugup. Percayakah anda, dana operasional kementerian
disimpan di dalam tas, bukan brankas, dan dalam bentuk dollar pula? Telah
terjadi pelecehan terhadap rupiah. Karena banyaknya komentar miring, belakangan
Jaero “meralat” ucapannya. Beliau menyatakan tidak tahu menahu soal dana US$
200.000 (23/8/2013). Namun ralat ini datang terlambat, setelah seminggu.
“Segitu banyaknya ruangan, saya enggak tahu ada apa saja di situ,"
kata Jero. Apakah anda percaya dengan “ralat” Jero ini?
Kasus-kasus di atas mengindikasikan tidak kredibelnya pejabat-pejabat negara
yang mendukung dominasi asing di Mahakam. Di sisi, lain kita mencatat Total SA
telah divonis kriminal di Amerika Serikat karena menyuap oknum pejabat Iran dalam
rangka memperoleh konsesi migas. Total didenda US$ 398,2 juta atau sekitar Rp 4
triliun (28/5/2013). Karena itu, kita pun sangat meragukan kredibilitas Total
yang sudah cacat moral, dan dapat saja melakukan hal sama di Indonesia guna
memperoleh perpanjangan kontrak Mahakam. Jika pihak yang berwenang memutus
status kontrak tidak kredibel, kontraktor yang ingin mengelola Mahakam juga
diragukan kredibilitasnya, maka keputusan perpanjangan kontrak kepada asing
menjadi sangat tidak kredibel juga dan berpotensi berbau korupsi.
BUMN kita telah menyatakan keinginan dan kemampuan mengelola Mahakam secara
konsisten dan berulang-ulang dalam 4 tahun terakhir. Begitu pula dengan para
mahasiswa, anggota serikat pekerja, tokoh-tokoh masyarakat, LSM, akademisi,
pengurus ormas dan berbagai kalangan yang tergabung dalam Petisi Blok Mahakam
dan Gerakan Menegakkan Kedaulatan Negara (GMKN) yang telah berulang-ulang
menyatakan sikap dan dukungan terhadap keinginan BUMN tersebut. Pada pagi,
tokoh yang sangat kita hormati, Bapak Jenderal (Purn.) Try Sutrisno, bersama
puluhan aggota Purnawirawan TNI dan Polri, ikut pula bersama barisan kita guna
menyatakan dukungan. Dengan semua ini, apakah belum cukup bagi Pemerintah, bagi
Presiden RI, untuk mengambil keputusan yang memihak kepada perusahaan anak
bangsa?
Permintaan kita kepada Presiden SBY agar Blok Mahakam diserahkan kepada BUMN
sangat mungkin diabaikan. Presiden SBY dapat saja mengulang sikap, sama seperti
ketika menjawab permintaan 9 tokoh masyarakat agar Blok Cepu diserahkan
kepada Pertamina, pada Maret 2006. Saat itu, surat permintaan yang
ditandatangani oleh Pak Try tidak digubris Presiden SBY. Pemerintah kukuh
bersikap, lalu menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon. Apakah permintaan Pak
Try hari ini, bersama kita semua, agar Blok Mahakam diserahkan kepada BUMN,
akan kembali diabaikan Presiden SBY? Apakah SBY akhirnya kembali memilih
perusahaan asing dibanding perusahaan bangsa sendiri? Kita tidak tahu. Sikap
diam dan membiarkan Jero dan Rudi terus mencari alasan untuk memihak asing,
mungkin bisa menjadi jawaban. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus melakukan
advokasi sambil berharap dan berdoa, semoga dukungan rakyat semakin membesar...
HIDUP MAHASISWA !!